Sabtu, 30 November 2013

HENDY SETIONO - Drop Out yang Jadi Pionir Kebab di Indonesia

Kalau mendengar kata "kebab", apa yang ada di pikiran kamu? Saya sih langsung terpikir Kebab TUrki Baba Rafi dengan gerobak kuning cerah dan merahnya. Ya, Kebab Turki Baba Rafi adalah pionir dan pemimpin besar pasar kuliner kebab di Indonesia, dirintis oleh Hendy Setiono tahun 2003 saat berumur 20 tahun. Siapa sangka dia memilih DO dari kampusnya dulu?

Kisah hidup pria kelahiran Surabaya, 30 Maret 1983 ini menunjukkan sikap yang bagi banyak orang terlihat nekat. Akan tetapi, sebenarnya lebih tepat disebut berani dan bersungguh-sungguh. Suatu waktu, Hendy berlibur sekaligus melepas kangen dengan ayahnya yang sedang tugas sebagai operator perusahaan minyak di Qatar. Di sana, ia melihat banyak penjual kebab, makanan khas Timur Tengah & Afrika berbahan daging yang dipanggang dan disajikan dengan tortilla. Hendy yang memang menggemari wisata kuliner pun mencicipinya. Ia langsung berpikir & menemukan satu peluang bisnis, "Di Indonesia tidak ada bisnis kebab, bagaimana kalau saya menjual kebab?".

Saat kembali ke Indonesia, Hendy yang saat itu masih tercatat sebagai mahasiswa Teknik Informatika Institut Teknologi Surabaya mengutarakan niatnya untuk berhenti kuliah dan fokus di bisnis. Tentu saja orang tuanya tidak langsung mengizinkan. Namun tekadnya sudah membulat, ia benar-benar men-DO dirinya sendiri. Hal berikutnya yang ia lakukan adalah mencari rekan bisnis dan melakukan eksperimen resep kebab. Dari berbagai varian kebab Timur Tengah, menurutnya kebab Turki adalah kebab yang paling enak. Setelah dimodifikasi, jadilah resep kebab Turki yang cocok dengan lidah Indonesia.

Awal bisnis Hendy dimulai justru dari burger & hot dog dengan brand Yummy Burger. Modal awalnya Rp4 juta rupiah yang berasal dari pinjaman adiknya yang juga berbisnis online. Stategi penjualannya bergerilya, dijual berkeliling menggunakan gerobak di Surabaya. Yummy Burger berkembang cukup baik, outletnya pun bertambah. Begitu mulai ada kompetitor, Hendy berstrategi dengan menambah menu, ya kebab turki itu. Brand Yummy Burger pun berubah menjadi Kebab Turki Baba Rafi. Rafi sendiri adalah nama anak pertamanya Hendy, Baba artinya ayah, jadi arti brandnya adalah "kebab Turki milih ayahnya Rafi".

Bisnisnya tidak langsung berjalan mulus. Awal-awal berbisnis, Hendy pernah berjualan sendiri bersama istri tercinta karena karyawannya sakit. Apes, saat itu hujan turun dengan derasnya sehingga amat sedikit sekali pembeli yang datang ke gerobaknya. Selesai berjualan, mereka makan di warung seafood sebelah gerobak mereka. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, ternyata tagihan makanan mereka di warung itu lebih besar dari omset mereka hari itu!.

Walaupun tidak selesai dalam mengenyam pendidikan formal, Hendy tidak berhenti belajar berbisnis. Ia rajin mengikuti seminar-seminar bisnis dan berguru dengan pengusaha sukses, antara lain Sandiaga Uno dan Purdi E. Candra, pendiri Primagama.

Perjuangan dan konsistensi Hendy bertahun-tahun berbuah manis. Kebab Turki Baba Rafi disukai orang. Jumlah outlet-nya meledak karena Hendy membuka peluang bekerja sama dengan sistem waralaba. Sukses di kebab, Hendy tidak berpuas diri. Ia membuka bisnis lainnya di bidang kuliner juga, yaitu Piramizza, Ayam Bakar Mas Mono, dan Bebek Garang.

Total outlet Kebab Turki Baba Rafi saat ini lebih dari 1.000 buah di Indonesia, Malaysia, dan Filipina, Piramizza 75 outlet, Ayam bakar Mas Mono 50 outlet di Indonesia dan Malaysia, dan Bebek Garang dengan 10 outlet di Jakarta dan Bandung, dengan total omzet miliaran per bulan dan membuka lebih dari 1.600 lapangan pekerjaan. Hendy pun membuktikan lagi, bahwa kesungguhan dan kerja keras akan terus berbuah manis.

Hendy dapat dihubungi lewat e-mail hendy@babarafi.com atau twitter @HendySetiono.



Quick Tips
Niat bersungguh-sungguh harus ditunjang dengan tindakan kerja keras yang nyata.
Dalam berbisnis kita harus punya mentor untuk membantu kita berkembang.

http://goo.gl/dBwkEx

Kamis, 28 November 2013

JULIE SHIE - Pemilik Belasan Perusahaan Internasional Sebelum Kepala Tiga

Bagaimana rasanya memiliki belasan perusahaan, semuanya di tingkat internasional, sebelum usia tiga puluh? Coba tanya Julie Shie, yang saat usianya belum genap tiga puluh tahun sudah memiliki 14 perusahaan di bawah bendera Worldwide Group yang bergerak di bidang transportasi, logistik dan properti, dengan omzet belasan juta dolar Amerika atau miliaran rupiah per tahun.

Julie yang lahir di Aceh 8 Februari ini lahir di keluarga dengan ekonomi menengah, tidak kurang satu apa pun. orang tuanya juragan angkot yang juga punya usaha laundry. Namun, Julie kecil selalu dididik untuk menghargai uang dan tidak pernah begitu saja diberi uang saku. Di usia enam tahun, Julie membantu bisnis laundry orang tuanya dengan membantu memilah dan menandai pakaian milik pelanggan. Julie juga kerap ikut ibunya pergi berbisnis antarkota dan bertemu banyak orang, sehingga ia menjadi anak yang supel.

Di usia delapan tahun, ia sudah berjualan permen dan makanan ringan di sekolah. Usia 14 tahun, Julie bekerja paruh waktu di toko unggas dan elektronik. Julie kemudian mengajar privat anak TK hingga SMP saat duduk di bangku kelas 3 SMP. Per murid ia mendapatkan antara Rp80.000 - Rp12.000, jumlah yang sangat besar pada zamannya.

Selepas SMA, Julie mencoba hal baru dengan bekerja pada perusahaan perdagangan valuta asing (valas). Pekerjaan ini mengharuskan lembur setiap hari, karena pasar mata uang dolar baru aktif pukul 12 malam waktu Indonesia. Alhasil, ia pun mengundurkan diri hanya dalam tiga bulan. Ia lalu bekerja di sebuah perusahaan fordwarding, yang kemudian mempercayainya memegang kantor cabang di Pekanbaru dan Padang. Namun kemudian Julie mengundurkan diri saat usia 19 tahun karena ada masalah di internal perusahaan.

Berbekal pengalamannya bekerja di perusahaan forwarding tersebut, Julie mendirikan perusahaan forwarding-nya sendiri bernama PT Samudra Indah Berkatindo dengan modal pinjaman dari ayah dan temannya sebanyak Rp30 juta. Tidak sampai satu bulan, pinjaman ini berhasil ia kembalikan.

Meningkatnya perdagangan ekspor-impor dari Indonesia membuat permintaan atas jasa forwarding semaking tinggi pula. Julie kemudian mendirikan perusahaan forwarding di Singapura bernama Worldwide Shipping Logistic Services Pte Ltd pada tahun 2006. Perusahaannya ini menjembatani pedagang karet di Indonesia dengan pembeli di China. Tidak berhenti, Julie mendirikan Omega Shipping Pte Ltd untuk mengurusi perdagangan komoditas Sino dari Asia ke China. Satu tahun kemudian, Andaman Worldwide Shipping Co Ltd ia dirikan di Thailand.

Tahun 2010, wanita yang sekarang sudah memiliki satu orang anak ini mendirikan perusahaan pemasaran properti bernama Worldwide Property Investment Ltd di Singapura, Indonesia, dan Thailand. Shanghai, Jepang dan Korea menjadi negara berikutnya yang akan menjadi kantor cabangnya.

Sumber : Buku 101 Young CEO

http://goo.gl/dBwkEx

RYAN GONDOKUSUMO - Memperkenalkan Konsep Crowdsourcing di Sribu.com

Ingin mendapatkan berbagai pilihan desain kreatif berkualitas untuk kebutuhan perusahaan dengan harga terjangkau? Coba Sribu.com. Situs crowdsourcing yang didirikan oleh Ryan Gondokusumo ini “mempertemukan” perusahaan yang butuh desain dengan ribuan desainer yang siap berkarya.

Pemuda kelahiran 16 Januari 1985 ini lulus dari Jurusan Teknik Elektro Universitas Purdue, Amerika Serikat tahun 2006. Memiliki cita-cita menjadi pengusaha, ia lebih dulu bekerja di berbagai perusahaan dalam industri yang berbeda-beda. Salah satunya di perusahaan travel sebagai head of business development.

Saat bekerja di perusahaan tersebut, Ryan memiliki banyak kebutuhan desain kreatif, mulai daru logo, banner, brosur, kalender, dan sebagainya. Sayangnya, banyaknya kebutuhan desain itu tidak bisa dipenuhi hanya dengan mengandalkan desainer di kantornya. Kondisi kebutuhan desain ini ternyata juga dialami perusahaan-perusahaan lain.

Sebagai solusi masalah ini, ia membuat situs crowdsourcing desain bernama sribu.com. ryan memulai Sribu.com pada Juni 2011 dengan tabungannya sebagai modal awal dan mengajak saudaranya, Webes Kusnadi sebagai web developer untuk membangun website sribu.com.

Perusahaan yang memburuhkan desain logo, maskot, poster, marchendise, interior desain, dan sebagainya, tinggal melakukan pemesanan lewat Sribu.com. Ada berbagai paket yang bisa dipilih, dari harga Rp1,5 juta hingga di atas Rp10 juta. Para desainer yang tergabung di Sribu.com akan berkompetisi mengerjakan permuntaan desain tersebut dan perusahaan dijamin akan mendapatkan hingga ratusan desain yang bisa mereka pilih. Bagi perusahaan, khususnya UKM yang menjadi target pasar Sribu.com, cara ini sangat efisien mendapatkan solusi desain. Sebaliknya bagi para desainer, Sribu.com adalah tempat terbaik untuk meningkatkan kemampuan diri dan membangun reputasi.

Mudahnya, crowdsourcing itu seperti outsourcing, tapi dikerjakan keroyokan oleh komunitas/crowd, sehingga ada banyak hasil pekerjaan untuk satu masalah. Berdasarkan risetnya tentang situs-situs berbasis crowdsourcing di seluruh dunia, ada banyak sekali situs berbasis crowdsource. Ada desain yang menjadi sumber inspirasi Sribu.com yaitu 99designs.com, ada juga crowdsourcing ide, crowdsourcing market, sampai crowdsourcing riset.

Tantangan yang ia hadapi di masa-masa awal usahanya adalah memperkenalkan layanannya ke publik karea konsep crowdsourcing ini masih sangat baru di Indonesia. Ia memperkenalkan diri ke perusahaan-perusahaan target pasar mereka dengan melakukan presentasi langsung. Dalam sehari, Ryan bahkan pernah presentasi ke empat hingga lima klien hanya untuk mendapatkan pemasukan Rp1-2 juta saja!

Pemenang SparxUp awards 2011 dan lulusan Jakarta Founders Institute ini sudah memiliki lebih dari 500 klien lokal maupun mancanegara dan lebih dari 25.000 desainer yang menghaslkan 135 ribu karya per April 2013. Kini Ryan siap masuk ke regional market dengan investasi yang diberikan oleh East Ventures, sebuah perusahaan permodal ventura berbasis di Singapura.

Sumber : Buku 101 Young CEO 


http://goo.gl/dBwkEx

Baca Juga Kisah Pengusaha Lainnya :

1. ROYAS AMRI BESTIAN - Otak Kanan yang Mengubah Hobi Gambar Jadi Bisnis


2. SYAMMAHFUZ CHAZALI - Mengolah Limbah Sapi Jadi Gerabah Berkualitas Tinggi



3. EGAR PUTRA BAHTERA - Sepatu Kulit Mewah Chevalier

Rabu, 27 November 2013

SYAMMAHFUZ CHAZALI - Mengolah Limbah Sapi Jadi Gerabah Berkualitas Tinggi


Selama ini, kotoran sapi hanya dibuang jadi limbah, atau paling umum dimanfaatkan menjadi pupuk kandang dan sumber biogas. Namun Syammahfuz Chazali dan teman-temannya berhasil menemukan bahwa limbah sapi juga bisa menjadi campuran bahan gerabah yang kemudian meningkatkan kualitas gerabah.

Lulussan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Gajah Mada ini sedang merenung saat ini sedang merenung saat sedang buang hajat, sekitar September 2006, ketika terbesit ide untuk mencampur kotoran sapi jadi bahan campuran keramik. Ide itu muncul karena ingat bahwa tanah tandus dan kering akan jadi bagus kalau dicampur dengan kotoran sapi. Renungan itu ditindaklanjuti, ia mengumpulkan berbagai referensi terkait dengan kemungkinan pengolahan kotoran sapi untuk mengobati penasarannya. Ternyata Syam, panggilan akrabnya, menemukan bahwa kotoran sapi mengandung silikat (sejenis bahan perekat) sebesar 9,6%, jadi bisa digunakan untuk bahan baku gerabah. 

Sebulan kemudian, pemuda kelahiran Medan 5 November 1984 ini bersama empat orang teman kampusnya membentuk tim untuk menjalankan ide ini. Tim ini awalnya mengikuti kompetisi Pekan Kreativitas Mahasiswa, namun proposal mereka ditolak juri karena judulnya sangat jorok, ada “kotoran sapi” pada judul proposalnya. Dari sini mereka belajar branding itu sangat penting. 

Tidak putus asa, mereja mencoba masuk ke berbagai kompetisi lain untuk mendapatkan modal awal. Pada April 2007, titik cerah datang. Proposalnya disetujui kompetisi DUE-Like Batch IV UGM dan diberi modal penelitian sebesar 3,5 juta. Bekerja sama dengan pengrajin gerabah di Kasongan, Yogya, mereka melakukan uji coba untuk mendapatkan formula & komposisi yang tepat.

Hasilnya luar biasa, apabila bahan baku tanah liat kuning dicampur kotoran sapi, gerabah yang dihasilkan lebih ringan 2 kg. Gerabahnya juga lebih kuat, karena saat dibakar di suhu 90o C tidak retak sama sekali.

Di bawah bendera PT Faerumnesia 7G, Syam dan rekan-rekannya pun serius menjalankan ide bisnis ini, bekerja sama dengan perajin-perajin lain di Kasongan, yang memang terkenal sebagai sentra kerajinan tanah liat.

Order demi order dan prestasi demi prestasi melambungkan nama Faerumnesia. Seribu buah guci dari Universitas Trisakti dan humat 60 ton dari Brunei Darussalam, adalah contoh order besar yang mereka terima. Mereka juga pernah menjadi juara Business Plan Pemuda Tingkat Nasional Kemenpora, serta diundang ke Cina dan Australia untuk memberikan presentasi ilmiah. Syam secara pribadi juga finalis Wirausaha Muda Mandiri 2008. Bisnis Syam berhasil secara nyata bermanfaat mengatasi masalah yang ada di masyarakat.

ROESTIANDI TSAMANOV - Berjuang Memperkenalkan Teknologi Pengelasan Laser

Mengadopsi teknologi dari luar negeri untuk diterapkan dan dipasarkan di Indonesia sungguh tidak mudah. Roestiandi Tsamanov merasakan hal itu, ia harus berjuang sangat keras selama dua tahun untuk bertahan hidup karena percaya bahwa teknologi laser welding (pengelasan laser) sangat potensial di Indonesia.


Kisah bisnis pemuda kelahiran Jakarta, 8 November 1982 ini baru dimulai saat ia kuliah di Jurusan Mechatronics Swiss German University, Tangerang. Saat semester 6, Manov mendapat kesempatan ke Jerman untuk magang. Ia berdoa sebelum lepas landas agar di Jerman ia mendapatkan kontak atau net work yang bermanfaat untukya yang ingin berbisnis sepulangnya ke Indonesia.

Manov magang di DSI Laser Service GmbH, perusahaan bidang pengelasan laser. Pengelasan laser adalah teknologi untuk menambal atau memperbaiki cacat yang terjadi pada cetakan di industri otomotif atau elektronik. Hasil pengelasan laser jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan pengelasan biasa, sekaligus jauh lebih mahal.

Tidak hanya bekerja, Manov sering berbincang dengan pemilik perusahaannya, Christian Frank, untuk memahami industri pengelasan laser ini. Ternyata teknologi ini masi relatif baru di dunia, klien perusahaan magangnya pun perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti Mercedes-Benz. Ia melakukan pencarian di internet dan tidak menemukan ada perusahaan seperti ini di Indonesia. Frank mendukung niatnya untuk membawa teknologi ini ke Indonesia. Doanya terkabul.

Tantangan demi tantangan menghampiri Manov saat merealisasikan idenya tahun 2005. Tantangan pertama datang dari segi modal finansial. Harga mesin las laser saja sangat mahal, lebih dari Rp1 miliar, belum kebutuhan lainnya. Bank tidak memberikan modal untuk UKM yang baru dimulai (harus lebih dari dua tahun dulu), venture capital  juga demikian. Tantangan pertama dilewati dengan menggunakan jaminan rumah ayahnya untuk meminjam dari bank.

Tantangan kedua datang dari penerimaan pasar. Berbagai perusahaan otomotif dan elektronik besar yang ditawari Manov masih ragu akan teknologi ini, apalagi harganya sangat mahal. Manov pun memetakan ulang segmen pasarnya, hanya beberapa perusahaan spesifik yang jadi target pasarnya.
Akhirnya ada juga perusahaan yang mau mencoba, walaupun dengan harga yang lebih murah dan waktu pengerjaan yang lebih cepat. Akan tetapi, order tersebut berbuah order-order selanjutnya, penjualan di tahun berikutnya pun meningkat dua kali lipat. Manov pun dapat mengembangkan bisnisnya dengan membeli bangunan di kawasan industri Jababeka serta menambah mesin.


Dua tahun pertama berbisnis, 2005-2007, Manov tidak digaji, karena pendapatan perusahaannya hanya cukup untuk majan, operasionalm dan membayar cicilan utang. Tantangan terbesar yang ia rasakan sebagai pengusaha yang memulau dari minus (utang) adalah mengenai arus kas alias cashflow. Manov harus membayar cicilan utangnya tepat waktu walaupun pendapatannya masih sulit, sehingga ia benar-benar waspada atas uang kas yang masuk perusahaan dan pengeluaran yang harus dikeluarkan.


Tahun-tahun berikutnya, Manov tinggal memetik buah kerja kerasnya. Astra Hinda Motor, Daihatsu, Toyota, Hino, dan Epson dan lebih dari 150 perusahaan besar lainnya menjadi langganannya. Omset miliaran rupiah per tahun diraihnya. Manov pun diganjar berbagai penghargaan sebagai pengusaha muda yang inspiratif.

Quick Tips
Perhatikan cashflow! Manov bilang, sekarang ia banyak menemukan pengusaha baru yang hanya melihat prospek penjualan yang bagus namun lengah terhadap uang kas. Walaupun penjualan bagus, mereka tetap kesulitan dan terancam bangkrut. Sederhana, tapi penting.
Order pertama dapat menjadi portofolio kesuksesan bisnis. Walaupun sulit, dapatkan order pertama, order-order berikutnya akan lebih mudah didapat.

ROYAS AMRI BESTIAN - Otak Kanan yang Mengubah Hobi Gambar Jadi Bisnis

Bagi orang tua zaman dulu, anak yang memiliki hobi menggambar pasti ditentang keras, karena dianggap itu hanya main-main saja dan tidak memiliki masa depan. Untung Royas Amri Bestian tidak lahir di keluarga seperti itu. Ia bersama kakaknya yang sudah hobi menggambar sejak kecil, kini sukses menjalankan perusahaan agensi kreatif bidang komunikasi visual.

Royas, kelahiran Bekasi 7 Juni 1982, memiliki kegemaran menggambar sejak kecil. Bungsu daru empat bersaudara ini dari kecil sudah memanfaatkan kreativitasnya untuk mendapatkan tambahan uang saku. Saat SD, ia suka membuat pistol-pistolan dan dompet yang dijual ke teman-temannya. Di SMP, Royas yang buku pelajarannya sampai habis digambar suka membuat kartu nama yang digambar dengan spidol dan cat poster. Teman-temannya pun tertarik.

Kegemarannya berlanjut saat SMA, saat ia bersama kedua kakaknya, Riga Azhar Firdauzi dan Ogie Urvil RA, membuat komik bersama dengan label RIROGI, Riga Royas Ogie. Komik mereka ditampilkan di salah satu majalah game.

Saat kuliah di S1 Desain Komunikasi Visual, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, Royas bersama kakak-kakaknya di Jakarta membuat kaus bertema budaya Madura (karena kedua orang tuanya berasal dari sana) dengan merek Alapola, konsepnya seperti Dagadu di Yogya atau Joger di Bali. Lulus kuliah pada 2005, ia bergabung dengan kedua kakaknya dan satu orang temannya untuk membuat perusahaan di bidang komunikasi visual, bernama SignDesign. Omong-omong, nama ini terinspirasi dari logat bicara orang Madura yang suka mengulang-ulang, seperti “te-sate”. Sambil mengembangkan SignDesign, Royas juga bekerja di perusahaan lain sebagai art director untuk menggali ilmu dan pengalaman. Setelah empat tahun, ia resign untuk fokus di SignDesign. 

Awal memulai SignDesign, Royas dan ketiga partnernya melakukan semuanya sendiri. Seperti saat menempel nama sales satu per satu di 3.000 buah buku, atau mencetak seribu buah pin. Pengalaman pahit pernah mencetak ulang ribuan brosur dan buku karena kesalahan menjadi pengalaman berharga


Tahun 2007, SignDesign diresmikan dalam badan hukum bernama PT Mazaya Asareng. Jumlah karyawan pun sudah 7 orang. Bersama timnya yang disebut The Right Brain Workers, SignDesign mengukuhkan posisinya sebagai agensi visual kreatif yang menelurkan ide untuk bentuk komunikasi maupun branding berbagai perusahaan lokal hingga multinasional. Penerapannya bisa berbentuk apa saja, tidak Cuma desain namun juga printing, mechandisin, video, forografi, dan ilustrasi.

Untuk mempromosikan jasanya, mereka melakukan “jemput bola” melalui pameran. Dasar otak kanan yang kreatif, buka pameran desain yang mereka ikuti, namun pameran haji dan umroh karena melihat bahwa target pasar disana membutuhkan jasanya. SignDesign pun berhasil mendapatkan klien satu biro haji dan umroh yang mempercayakan desain company profile, buku umroh anak, dan multimedia. Tahun 2009, omset SignDesign mencapai Rp1,2 miliar pertahun. Royas pun diganjar sebagai Finalis Nasional Wirausaha Muda Mandiri tahun 2009.

Quick Tips

Hobi bisa menjadi awal bisnis. Namun, kita harus memiliki kemampuan melihat kebutuhan pasar agat hobi kita bisa “dibeli”.

Sumber : Buku 101 young CEO 

ARIO PRATOMO - Berbisnis Kargo untuk Perusahaan Penerbangan

Di usia relatif muda, Ario Pratomo mendirikan perusahaan penjualan ruang kargo sendiri. Modalnya, selain duit, adalah jaringan yang luas di bidang kargo dan maskapai asing. Ia bisa membidik celah dalam bisnis ini.

Dua dekade lalu kita sangat akrab dengan pengusaha konglomerat. Lazimnya, para pengusaha ini sudah cukup umur alias setengah baya dan banyak makan asam garam di dunia usaha. Belakangan, mereka menyerahkan usahanya pada generasi kedua atau ketiga. Alhasil, ada sederet pengusaha muda yang namanya tidak asing di telinga, lantaran ada embel-embel nama keluarga mereka.

Namun begitu, banyak pula pengusaha muda yang merintis perusahaan mereka sendiri. Salah satunya adalah Ario Pratomo. Penampilan lelaki berusia 25 tahun ini mungkin seperti para eksekutif muda lain. Tapi, Ario sudah mengendalikan perusahaan sendiri, bernama Unique Kargonize. Ini adalah perusahaan general sales and service agent (GSSA) bagi Etihad Airways. Selama ini memang ada beberapa cara perusahaan penerbangan untuk menjual ruang kargo dalam penerbangan mereka. Mereka bisa menjual lewat perwakilan langsung dalam perusahan penerbangan tersebut, atau mereka bisa menggunakan jasa GSSA. Nah, GSSA ini nantinya yang menjual ruang kargo penerbangan perusahan yang bersangkutan.

Sebenarnya, menurut Ario, ia tidak sendirian mendirikan Unique. “Saya hanya menyetor modal minoritas,” ujarnya merendah. Ia bilang, ada dua pihak lain yangmemiliki Unique. Sewaktu mendirikan Unique, dua tahun lalu, umur Ario baru menginjak 23 tahun. “Saya jadi menonjol karena umur saya belum 25 tahun waktu itu,” dalihnya.

Bukan berarti pria yang lahir pada 31 Juli 1985 ini tidak bermodal apa-apa. Keberanian mendirikan perusahaan sendiri jadi modal yang sangat besar. Kebetulan bidang kargo dan penerbangan bukan hal baru bagi Ario. Setelah lulus dengan cepat — pada umur 20 tahun — dari Edith Cowan University, Australia, Ario bergabung dalam Speedmark Indonesia. Speedmark Indonesia didirikan pada tahun 2002 dan Ario bekerja di situ sejak tahun 2003.

Di perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki oleh keluarganya ini, Ario mengembangkan sistem operasi baru yang bisa mempercepat booking dan arus pengapalan. Dari perusahaan ini pula Ario membangun jaringan di bidang kargo. Suatu saat, Ario mendengar bahwa Etihad Airways mencari GSSA. Ia menyambar kesempatan itu dan menaruh proposal. Ario harus bersaing dengan sembilan perusahaan lain dalam tender.

Ario tertarik terjun dalam bidang ini. Pasalnya, menurut dia, modal untuk mendirikan usaha tersebut tidak terlalu besar. “Kecuali untuk bank guarantee sekitar US$ 1 juta,” katanya. Selain itu, ia cukup menyediakan ruang kantor untuk penjualan.

Ternyata, pilihan Etihad jatuh kepada perusahaan milik Ario yang dinamai PT Unique Kargo-nize. Mereka memulai pengiriman barang pertama pada 16 Maret 2006. Waktu itu, kapasitas angkut yang ditangani Unique adalah sebesar 15 ton per penerbangan, dengan jadwal terbang empat kali seminggu. “Waktu penerbangan pertama kita full,” kenang Ario. Ramainya penerbangan pertama itu juga dibantu dengan musim pengiriman yang cukup padat pada bulan Maret.

Hanya, keberuntungan pemula ini tidak bertahan lama. Total pengangkutan cenderung turun, sampai bulan Mei. Di saat inilah, Ario harus memutar otak agar perusahaannya bisa bertahan. Biasanya, tambah Ario, peak time pengiriman barang itu pada bulan Maret dan akhir tahun dari Oktober hingga Desember.

Mencari maskapai lain
Menurut Ario, perlu waktu sekitar lima bulan bagi Unique menjadi sebuah usaha yang stabil. Sekarang ini, total karyawan di Unique sebanyak 12 orang, jumlah yang cukup banyak buat perusahaan GSSA. Waktu pertama berdiri dulu, total karyawannya ada delapan orang. Selain punya kantor di Jakarta, Ario mendirikan sub GSSA di Bali dan Surabaya.

Tidak berhenti menjadi agen buat Etihad, Ario dan rekan-rekannya terus berburu. Pencarian itu akhirnya mendarat pada Qantas Airways untuk GSSA di Bali. Proses ini sudah dilakukan sejak September 2007, namun penerbangan pertama dilakukan pada bulan Januari 2008.

Untuk GSSA buat Qantas ini, Ario mendirikan perusahaan bernama PT Swift Kargonize, dengan komposisi kepemilikan saham yang hampir sama dengan Unique Kargonize. “Saya selalu memilih tiga pihak yang menjadi pemegang saham di perusahaan, tidak terlalu sedikit, tetapi tidak juga banyak,” katanya. Swift Kargonize memiliki empat orang karyawan dan sedang dalam proses penambahan.

Di perusahaan yang baru berdiri inilah sekarang waktu Ario banyak tersita. Apalagi perubahan dari representasi langsung Qantas menjadi GSSA lebih rumit daripada proses Etihad, yang sebelumnya tidak memiliki representasi langsung di Indonesia. Ia jadi kerap bolak balik Bali-Jakarta. “Tapi, targetnya dalam tiga bulan sudah bisa ditinggal,” ujar Ario yang sedang sekolah S2 di IPMI. “Hidup saya adalah work hard, play hard, study hard,” ujar suami Edwina Zuldiany Gobel ini.

Hanya, Ario tetap optimistis dan ingin terus mengembangkan bisnisnya. Maklum saja, menurut dia, sekarang ini sudah lebih banyak perusahaan penerbangan yang menggunakan jasa GSSA. “Trennya nanti lebih banyak lagi perusahaan penerbangan yang memakai jasa GSSA,” tutur Ario. Tentu, peluang yang terbuka itu menjadi incaran Ario.

Balik ke Kargo Setelah Kenyang di EO
Buat Ario Pratomo, Direktur PT Unique Kargonize dan PT Swift Kargonize, bisnis kargo bukan cita-cita. Ia lebih suka hal yang berhubungan dengan banyak orang. Kesukaan Ario di bidang itu dituangkan dengan menceburkan diri dalam pembuatan film Pelangi di Atas Prahara. Ia menjadi asisten sutradara dan koordinator casting.

Selain itu, ia juga sempat mengecap pengalaman dalam event organizer SUB Production, EO yang dimotori oleh para pelajar Indonesia di Perth. “Saya dulu juga ingin menjadi penyiar dan sempat ikut seleksi di Radio Prambors,” katanya. Tapi, karena harus berangkat ke Perth, maka ia meninggalkan proses audisi.

Sekarang ini semua kegiatan musik dan film itu hanya menjadi hobi setelah terjun ke bisnis kargo. “Hampir semua pengusaha muda yang ada di bisnis kargo ini bukan merupakan generasi penerus. Saya juga begitu,” kata dia.

Ario menggarap lahan yang agak beda dengan sang ibu, empunya Speedmark Indonesia. Kalau ibunya menggarap pasar forwarder, ia menggarap penjual ruang kargo buat perusahaan penerbangan. “Ibu saya sekarang ini jadi klien saya,” tuturnya,

Keputusan Ario masuk ke bidang kargo juga terpengaruh ibunya yang sudah sekitar 20 tahun bekerja di forwarder. “Jangka panjang, kalau tidak meneruskan usaha ibu, saya bersama adik saya ingin membuat perusahaan keluarga,” ujarnya.

Wahyu Tri Rahmawati

Sumber : http://goo.gl/McvJ9i

NYIMAS HURMAH RYZKA -Menjadi Jutawan dengan Bisnis Kain Tradisional

Sungguh beruntung negeri kita kaya akan kain Nusantara. Bila saja setiap orang mau sedikit jeli, warisan budaya ini dapat menjadi sumber emas yang berlimpah.

TOKO TENON Di Jalan Taman Siswa, Palembang, itu tampak ramai oleh pengunjung. Pada tahun 2006 saja, lebih dari 10 ribu orang telah berkunjung ke tempat tersebut, Rumah Tenun, begitulah Hama toko yang menjual berbagai wastra atau kain tradisional Palembang itu. Menghidupkan kembali bisnis yang dulu ditekuni buyutnya, Nyimas tak menyangka usahanya akan maju sepesat itu, bahkan dengan omzet mencapai miliaran rupiah. Konsumennya—yang kebanyakan adalah wanita dari tingkat ekonomi menengah ke atas—bukan hanya datang dari kota sekitar, melainkan jugs dari Jakarta clan Medan. Bahkan, ada pula pelanggan yang datang dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Prancis.

 
MEWARISI DARAH BISNIS
Usia dara berdarah asli Palembang ini belum lagi 25 tahun. Tapi, ia sudah mantap menekuni bisnis kain. Padahal, latar belakang pendidikannya bukanlah bidang tekstil, marketing atau bisnis, melainkan hukum. Lulusan Magister Kenotariatan Universitas Sriwijaya ini sudah mempraktikkan bisnis sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Iseng-iseng, barang yang ia bawa dari rumah, dijual kepada teman-temannya di sekolah. Misalnya, bekal makanan, apa pun jenisnya. Lucunya, dagangannya laris manic di kalangan temannya. Nyimas kecil pun sudah pintar mengelola keuangan. Uang yang ia dapatkan dibagi menjadi beberapa pos. sebagian ia belikan jajanan, sebagian lagi ia 'tabung' dengan cara diselipkan dalam buku tulis.

 

"Belakangan, tak hanya bekal makanan, buku-buku di rumah yang sudah tidak terpakai pun saya jual," ujarnya tergelak. Karena merasa senang saat mendapat uang, Nyimas makin semangat berniaga. Nyimas belia mulai berpikir ke depan. la menyisihkan sebagian uangnya untuk dijadikan modal agar bisa berjualan lagi. Kali ini ia ingin agar jualannya agak sedikit lebih serius. la membeli kacang atom dalam bungkusan besar. Saat malam hari, tangan-tangan mungilnya dengan telaten mengemas kacang-kacang tersebut dalam plastik-plastik es kecil-kecil, lalu kemasan itu ia 'kunci' dengan membakar lipatannya di atas api dari lilin. Pagi harinya ia tawarkan pads teman-temannya. Dan..., laris!
 
Belajar melihat peluang yang ada di sekitar. Songket Palembang milik keluarga telah ada cukup lama, namun hanya dia yang berhasil mengubahnya menjadi bisnis miliaran rupiah.
 

Makin banyak penghasilan yang didapat, Nyimas semakin semangat men- cari uang jajan dan tabungan. Nyimas bahkan merelakan hari Minggunya dihabiskan untuk membuat gula palu. Permen tradisional warna-warni dari gula ini adalah jajanan khas Palembang. Berdua dengan adiknya, ia menjual permen ini di camping rumah. Lama-kelamaan, barang dagangannya merambah ke mana-mana. Berawal dari bekal makanan, kacang clan permen, belakangan diam-diam ia membisniskan makanan yang tersaji di meja makan rumahnya! Entah itu kadang rebus atau nasi goreng. "Yang penting menghasilkan uang. Ha ... ha—ha ... . Begitu seterusnya. Uang yang saya dapat lalu saya kumpulkan untuk membeli sesuatu yang saya inginkan," tuturnya bangga.
 

BONGKAR PINJAM SONGKET NENEK
 

Kedua nenek dari pihak ayah dan ibunya adalah pedagang songket dan perhiasan emas Palembang. Jiwa dagang sang nenek tampaknya mengalir pada darah ibunya, yang dikenal sebagai pedagang songket dari pintu ke pintu. "Dari situlah saya terbiasa mengikuti beliau berdagang songket Palembang, sampai mengikuti pameran tenun," kisah Nyimas.
 

Berjiwa wirausaha memang bukan berarti secara harfiah berbakat dagang, melainkan punya keinginan untuk hidup mandiri dan pandai melihat peluang. Inilah yang ada pada diri Nyimas. Suatu ketika, Nyimas melihat-lihal kain kuno khas Palembang yang dikoleksi neneknya. Warnanya masih sangat bagus, tapi sudah tidak bisa digunakan lagi karena kainnya sudah sangat tua, sehingga terlalu rapuh dan rentan sobek. la merasa sangat prihalin. "Songket milik Nenek adalah Songket Jantung, yaitu songket yang konon benang emasnya dicelup dengan emas 22 karat! Songket tersebut terbilang amat langka, sehingga harganya juga luar biasa mahal. Bisa mencapai Rp100 juta," kata Nyimas.
 

la pun mulai memikirkan cara agar kain langka nan dantik itu bisa digunakan lagi. Ide cemeriang pun muncul, yaitu menduplikasi kain langka tersebut. Nyimas lalu meminjam kain milik neneknya dan ia bawa ke tempat perajin di dekat rumah. Dua bulan kemudian, songket yang ia idamkan pun selesai dibuat. "Saya sangat bahagia, akhirnya songket saya selesai," katanya. Namun, karena merupakan hasil duplikasi, warnanya tidak bisa sama dengan songket aslinya. Songket yang kuno berwarna merah marun, sedangkan duplikatnya berwarna merah cabai. "Saat itu saya baru mengetahui bahwa songket kuno tidak bisa dibuat lagi dengan warna yang sama persis. Yang bisa sama hanya motifnya. Sebab, warna songket kuno 'matang' dengan sendirinya, seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi kelembapan udara," urainya.
 

Hal itu tak mematahkan semangat Nyimas untuk memasarkan duplikat songketnya. Selembar kain merah itu berhasil ia jual pada sahabat ibunya yang kebetulan memang sedang mencari songket. Sejak itu Nyimas makin 'ketagihan' menyambangi rumah neneknya, melakukan aksi 'bongkar-pinjam' kain koleksi lainnya. Nyimas pun terus membuat songket duplikat, meski belum tahu untuk apa dan akan dijual kepada siapa. Namun, ibu dan ayahnya tidak keberatan akan kreativitas anak mereka. Sebab, bukankah Nyimas telah membuktikan bahwa ia berhasil menjual songket kreasinya? Siapa tahu ini merupakan langkah awal perjalanan seseorang dalam merintis usaha, pikir orangtua Nyimas bijak.
 
Target market yang dibidiknya tepat, yaitu kelas menengah atas. Karena hanya kelas ini yang memiliki selera dan anggaran untuk membeli produknya.
 
TERJUN LANGSUNG KE PERAJIN
 

Pada 2006, Nyimas sekeluarga menempati rumah baru yang berlokasi di tengah kota. Lantai dasar sengaja dibuat lapang, tak diberi perabot apa pun. Awalnya akan dibuat kantor praktik notaris ayah Nyimas. Tapi, Nyimas punya ide yang lebih brilian. la mengusulkan agar lantai tersebut dijadikan toko, yang langsung disetujui oleh kedua orangtuanya. Mereka tahu benar bahwa kreativitas Nyimas membutuhkan wadah. Akhirnya, lantai itu menjadi display kain tenun. Meski hanya satu lantai, toko tersebut ia beri nama Rumah Tenun.
 

Untuk mempercantik ruangan, Nyimas meminjam koleksi barang antik milik ibunya untuk diletakkan di sudut-sudut ruangan. la pun mulai melancarkan rayuan pada orangtuanya, agar dipinjami modal. "Waktu itu saya sedang kuliah di semester 5. Saya belum punya keberanian yang cukup untuk meminjam pada bank. Lagi pula, apa yang bisa saya jadikan jaminan?" katanya.
Berbekal Rp400 juta dari orangtuanya, Nyimas membeli songket dari perajin. Karena modalnya memang tidak banyak (mengingat kain songket harganya sangat tinggi), ia hanya bisa mengumpulkan 25 pasang kain songket. Itu pun bukan kain yang harganya selangit, melainkan yang harga menengah. Otaknya mulai diputar lagi. Terlintas di kepalanya, kerajinan khas Palembang bukan hanya songket, melainkan juga kain jumputan, kain tajung, kain blongsong, kain prado, kain angkinan, dan batik Palembang.

 
Untuk mengembangkan usaha, dia membuat jaringan seluas-luasnya dengan banyak perajin.
 

Karena ingin memasukkan kain-kain tradisional itu dalam dagangannya, Nyimas pun mulai mengitari Palembang untuk mencari perajin kain-kain tersebut. Perlahan-lahan ia mulai menjalin kerja sama dengan mereka. Nyimas cukup beruntung karena tak harus berakrobat dengan waktu. Kuliahnya baru mulai pukul 16.00 sehingga ia punya banyak waktu untuk berburu. la lalu meminta dua orang tetangga untuk membantunya menjaga toko.
 

Kendati modalnya sudah cukup besar, Rumah Tenun tak lantas mampu menjaring konsumen dalam jumlah banyak. Nyimas sempat bingung memikirkan siapa sebenarnya target pasarnya dan bagaimana caranya agar konsumen mau melirik butiknya itu. Pikir punya pikir, ia lalu memiliki gagasan untuk menghiasi tokonya dengan koleksi kain neneknya. "Risikonya memang besar. Karena, kalau sampai rusak, bagaimana cara saya menggantinya? Padahal, modal belum kembali," tutor Nyimas dengan cemas.
 

Namun, karena koleksi tersebut sangat penting untuk memancing ketertarikan pengunjung, Nyimas tetap nekat meminjam beberapa lembar batik kuno yang harganya sekitar Rp3-5 juta per lembar. Peminjaman itu berbuah manis. Sebuah instansi perbankan minta dibuatkan seragam dari bahan batik motif Palembang tersebut. Semangat bisnisnya makin terbakar.
 

BERANI TAMPIL BEDA
 

Di Palembang cukup banyak toko yang menjual kerajinan daerah. Inilah tantangan terbesar bagi Nyimas. la harus menaklukkan para kompetitor dengan cara yang manis agar usahanya dapat berkembang. la menyusun strategi baru dengan meminjam barang antik ibunya. Kursi tamu antik ia letakkan di toko, agar tamu merasa betah. Tak hanya itu, ia juga menjamu tamu-tamunya dengan berbagai camilan khas Palembang. Tampaknya strategi itu berhasil. Karena merasa betah di sana, para tamu jadi ingin berlama-lama di Rumah Tenun, dan akhirnya tergoda membeli lebih banyak.
 

Inovasi lulusan Magister Kenotariatan Universitas Sriwijaya ini pun dimulai. Nyimas memadukan songket dengan kain batik jumputan. Ternyata, kombinasi itu disukai konsumen. Perlahan-lahan Nyimas mulai bisa membaca selera pasar. "sejak itu saya termotivasi untuk terus melakukan modifikasi, agar konsumen tidak melihat yang itu-itu saja. Saya pun membuat perpaduan kain yang tidak mudah ditemukan di toko lain," kata Pemenang I Bidang Kreatif Wirausaha Mandiri ini dengan bangga. Tak berhenti melakukan inovasi, Nyimas juga memadukan motif batik Palembang dengan batik Madura, batik Pekalongan, dan batik Jepara. Hasilnya, kain hasil karyanya makin diminati.

Bangun kepercayaan—itulah yang membuat klien datang kembali. la tak ragu melayani konsumen yang kecewa dengan produknya dan mengganti rugi kekecewaan itu dengan produk dan servis yang istirnewa, Tak heran konsumen yang kecewa tersebut justru menjadi loyal.


Kain yang ia gunakan pun sebagian besar adalah kain sutra, sehingga kualitasnya sudah ticiak perlu dipertanyakan lagi. Bentuknya bukan hanya lembaran kain, melainkan ada yang sudah dalam bentuk baju siap pakai dengan selera lebih muda, la ingin agar kain-kain ini juga digunakan oleh orang muda, termasuk anak-anak. Sebab, sejak awal terjun di bisnis ini Nyimas memang berniat melestarikan wastra nusantara tersebut.
 

Meski bisnisnya terkesan bebas hambatan, bukan berarti Nyimas tak pernah merugi. Suatu ketika, seorang konsumen memesan songket yang motifnya cukup butuh pengerjaan hingga 5 bulan. Padahal, waktu yang diberikan konsumen hanya 4 bulan. Berhali-hali dengan langkahnya, Nyimas kemudian berunding dengan perajin sebelum menyanggupi permintaan tersebut.
 

Satu ciri khas pengerjaan songket adalah tidak dapat berpindah tangan. Siapa nyana perajin yang telah ditunjuk terkena musibah dan songket yang sudah hampir jadi itu terpaksa berpindah tangan ke perajin lagi. Pada waktu yang dijanjikan, songket itu belum selesai. Karena konsumen marah-marah, Nyimas memberi pilihan pada konsumen tersebut agar memilih kain mana saja yang sudah ada di tokonya. Nyimas terpaksa menelan kerugian, karena songket yang dipilih sebagai gantinya lebih mahal daripada yang dipesan. "Ini menjadi pelajaran berharga buat saya. Sejak itu saya tidak main-main lagi dalam menerima pesanan," kata Nyimas, yang menyebut bahwa konsumen itu kemudian justru menjadi konsumen tetapnya.

Memulai bisnis dari kecintaan. Nyimas sangat menyukai kain-kain tradisional dan punya keinginan kuat untuk melestarikannya. Sehingga, passion berbisnis pun semakin kuat.

Mengikuti pekembangan teknologi, Nyimas tak hanya berpromosi dengan cara tradisional, melainkan juga melalui internet. Media yang dipilihnya adalah situs jejaring sosial, Facebook. Dori sanalah konsumennya berkembang luas ke beberapa negara. Bahkan, konsumen di Singapura rutin melakukan pemesanan. Karena nilai rupiahnya cukup tinggi dan tak ingin mengalami penipuan, Nyimas menerapkan sistem pembayaran terlebih dulu, barulah produknya 'dikirim. Hingga saat ini, setiap tahunnya Nyimas berhasil mendapatkan laba hingga Rp200 juta, dengan 9 karyawan tetap dan puluhan kelompok perajin yang sewaktu-waktu siap membuat songket.
 
Dari Buku: Wirausaha Muda Mandiri Part 2: Kisah Inspiratif Anak-anak Muda Menemukan Masa Depan dari Hal-hal yang Diabaikan Banyak Orang. Oleh: Rhenald Kasali Penerbit: Gramedia (http://goo.gl/fkLeBa)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More