Rabu, 27 November 2013

NYIMAS HURMAH RYZKA -Menjadi Jutawan dengan Bisnis Kain Tradisional

Sungguh beruntung negeri kita kaya akan kain Nusantara. Bila saja setiap orang mau sedikit jeli, warisan budaya ini dapat menjadi sumber emas yang berlimpah.

TOKO TENON Di Jalan Taman Siswa, Palembang, itu tampak ramai oleh pengunjung. Pada tahun 2006 saja, lebih dari 10 ribu orang telah berkunjung ke tempat tersebut, Rumah Tenun, begitulah Hama toko yang menjual berbagai wastra atau kain tradisional Palembang itu. Menghidupkan kembali bisnis yang dulu ditekuni buyutnya, Nyimas tak menyangka usahanya akan maju sepesat itu, bahkan dengan omzet mencapai miliaran rupiah. Konsumennya—yang kebanyakan adalah wanita dari tingkat ekonomi menengah ke atas—bukan hanya datang dari kota sekitar, melainkan jugs dari Jakarta clan Medan. Bahkan, ada pula pelanggan yang datang dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Prancis.

 
MEWARISI DARAH BISNIS
Usia dara berdarah asli Palembang ini belum lagi 25 tahun. Tapi, ia sudah mantap menekuni bisnis kain. Padahal, latar belakang pendidikannya bukanlah bidang tekstil, marketing atau bisnis, melainkan hukum. Lulusan Magister Kenotariatan Universitas Sriwijaya ini sudah mempraktikkan bisnis sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Iseng-iseng, barang yang ia bawa dari rumah, dijual kepada teman-temannya di sekolah. Misalnya, bekal makanan, apa pun jenisnya. Lucunya, dagangannya laris manic di kalangan temannya. Nyimas kecil pun sudah pintar mengelola keuangan. Uang yang ia dapatkan dibagi menjadi beberapa pos. sebagian ia belikan jajanan, sebagian lagi ia 'tabung' dengan cara diselipkan dalam buku tulis.

 

"Belakangan, tak hanya bekal makanan, buku-buku di rumah yang sudah tidak terpakai pun saya jual," ujarnya tergelak. Karena merasa senang saat mendapat uang, Nyimas makin semangat berniaga. Nyimas belia mulai berpikir ke depan. la menyisihkan sebagian uangnya untuk dijadikan modal agar bisa berjualan lagi. Kali ini ia ingin agar jualannya agak sedikit lebih serius. la membeli kacang atom dalam bungkusan besar. Saat malam hari, tangan-tangan mungilnya dengan telaten mengemas kacang-kacang tersebut dalam plastik-plastik es kecil-kecil, lalu kemasan itu ia 'kunci' dengan membakar lipatannya di atas api dari lilin. Pagi harinya ia tawarkan pads teman-temannya. Dan..., laris!
 
Belajar melihat peluang yang ada di sekitar. Songket Palembang milik keluarga telah ada cukup lama, namun hanya dia yang berhasil mengubahnya menjadi bisnis miliaran rupiah.
 

Makin banyak penghasilan yang didapat, Nyimas semakin semangat men- cari uang jajan dan tabungan. Nyimas bahkan merelakan hari Minggunya dihabiskan untuk membuat gula palu. Permen tradisional warna-warni dari gula ini adalah jajanan khas Palembang. Berdua dengan adiknya, ia menjual permen ini di camping rumah. Lama-kelamaan, barang dagangannya merambah ke mana-mana. Berawal dari bekal makanan, kacang clan permen, belakangan diam-diam ia membisniskan makanan yang tersaji di meja makan rumahnya! Entah itu kadang rebus atau nasi goreng. "Yang penting menghasilkan uang. Ha ... ha—ha ... . Begitu seterusnya. Uang yang saya dapat lalu saya kumpulkan untuk membeli sesuatu yang saya inginkan," tuturnya bangga.
 

BONGKAR PINJAM SONGKET NENEK
 

Kedua nenek dari pihak ayah dan ibunya adalah pedagang songket dan perhiasan emas Palembang. Jiwa dagang sang nenek tampaknya mengalir pada darah ibunya, yang dikenal sebagai pedagang songket dari pintu ke pintu. "Dari situlah saya terbiasa mengikuti beliau berdagang songket Palembang, sampai mengikuti pameran tenun," kisah Nyimas.
 

Berjiwa wirausaha memang bukan berarti secara harfiah berbakat dagang, melainkan punya keinginan untuk hidup mandiri dan pandai melihat peluang. Inilah yang ada pada diri Nyimas. Suatu ketika, Nyimas melihat-lihal kain kuno khas Palembang yang dikoleksi neneknya. Warnanya masih sangat bagus, tapi sudah tidak bisa digunakan lagi karena kainnya sudah sangat tua, sehingga terlalu rapuh dan rentan sobek. la merasa sangat prihalin. "Songket milik Nenek adalah Songket Jantung, yaitu songket yang konon benang emasnya dicelup dengan emas 22 karat! Songket tersebut terbilang amat langka, sehingga harganya juga luar biasa mahal. Bisa mencapai Rp100 juta," kata Nyimas.
 

la pun mulai memikirkan cara agar kain langka nan dantik itu bisa digunakan lagi. Ide cemeriang pun muncul, yaitu menduplikasi kain langka tersebut. Nyimas lalu meminjam kain milik neneknya dan ia bawa ke tempat perajin di dekat rumah. Dua bulan kemudian, songket yang ia idamkan pun selesai dibuat. "Saya sangat bahagia, akhirnya songket saya selesai," katanya. Namun, karena merupakan hasil duplikasi, warnanya tidak bisa sama dengan songket aslinya. Songket yang kuno berwarna merah marun, sedangkan duplikatnya berwarna merah cabai. "Saat itu saya baru mengetahui bahwa songket kuno tidak bisa dibuat lagi dengan warna yang sama persis. Yang bisa sama hanya motifnya. Sebab, warna songket kuno 'matang' dengan sendirinya, seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi kelembapan udara," urainya.
 

Hal itu tak mematahkan semangat Nyimas untuk memasarkan duplikat songketnya. Selembar kain merah itu berhasil ia jual pada sahabat ibunya yang kebetulan memang sedang mencari songket. Sejak itu Nyimas makin 'ketagihan' menyambangi rumah neneknya, melakukan aksi 'bongkar-pinjam' kain koleksi lainnya. Nyimas pun terus membuat songket duplikat, meski belum tahu untuk apa dan akan dijual kepada siapa. Namun, ibu dan ayahnya tidak keberatan akan kreativitas anak mereka. Sebab, bukankah Nyimas telah membuktikan bahwa ia berhasil menjual songket kreasinya? Siapa tahu ini merupakan langkah awal perjalanan seseorang dalam merintis usaha, pikir orangtua Nyimas bijak.
 
Target market yang dibidiknya tepat, yaitu kelas menengah atas. Karena hanya kelas ini yang memiliki selera dan anggaran untuk membeli produknya.
 
TERJUN LANGSUNG KE PERAJIN
 

Pada 2006, Nyimas sekeluarga menempati rumah baru yang berlokasi di tengah kota. Lantai dasar sengaja dibuat lapang, tak diberi perabot apa pun. Awalnya akan dibuat kantor praktik notaris ayah Nyimas. Tapi, Nyimas punya ide yang lebih brilian. la mengusulkan agar lantai tersebut dijadikan toko, yang langsung disetujui oleh kedua orangtuanya. Mereka tahu benar bahwa kreativitas Nyimas membutuhkan wadah. Akhirnya, lantai itu menjadi display kain tenun. Meski hanya satu lantai, toko tersebut ia beri nama Rumah Tenun.
 

Untuk mempercantik ruangan, Nyimas meminjam koleksi barang antik milik ibunya untuk diletakkan di sudut-sudut ruangan. la pun mulai melancarkan rayuan pada orangtuanya, agar dipinjami modal. "Waktu itu saya sedang kuliah di semester 5. Saya belum punya keberanian yang cukup untuk meminjam pada bank. Lagi pula, apa yang bisa saya jadikan jaminan?" katanya.
Berbekal Rp400 juta dari orangtuanya, Nyimas membeli songket dari perajin. Karena modalnya memang tidak banyak (mengingat kain songket harganya sangat tinggi), ia hanya bisa mengumpulkan 25 pasang kain songket. Itu pun bukan kain yang harganya selangit, melainkan yang harga menengah. Otaknya mulai diputar lagi. Terlintas di kepalanya, kerajinan khas Palembang bukan hanya songket, melainkan juga kain jumputan, kain tajung, kain blongsong, kain prado, kain angkinan, dan batik Palembang.

 
Untuk mengembangkan usaha, dia membuat jaringan seluas-luasnya dengan banyak perajin.
 

Karena ingin memasukkan kain-kain tradisional itu dalam dagangannya, Nyimas pun mulai mengitari Palembang untuk mencari perajin kain-kain tersebut. Perlahan-lahan ia mulai menjalin kerja sama dengan mereka. Nyimas cukup beruntung karena tak harus berakrobat dengan waktu. Kuliahnya baru mulai pukul 16.00 sehingga ia punya banyak waktu untuk berburu. la lalu meminta dua orang tetangga untuk membantunya menjaga toko.
 

Kendati modalnya sudah cukup besar, Rumah Tenun tak lantas mampu menjaring konsumen dalam jumlah banyak. Nyimas sempat bingung memikirkan siapa sebenarnya target pasarnya dan bagaimana caranya agar konsumen mau melirik butiknya itu. Pikir punya pikir, ia lalu memiliki gagasan untuk menghiasi tokonya dengan koleksi kain neneknya. "Risikonya memang besar. Karena, kalau sampai rusak, bagaimana cara saya menggantinya? Padahal, modal belum kembali," tutor Nyimas dengan cemas.
 

Namun, karena koleksi tersebut sangat penting untuk memancing ketertarikan pengunjung, Nyimas tetap nekat meminjam beberapa lembar batik kuno yang harganya sekitar Rp3-5 juta per lembar. Peminjaman itu berbuah manis. Sebuah instansi perbankan minta dibuatkan seragam dari bahan batik motif Palembang tersebut. Semangat bisnisnya makin terbakar.
 

BERANI TAMPIL BEDA
 

Di Palembang cukup banyak toko yang menjual kerajinan daerah. Inilah tantangan terbesar bagi Nyimas. la harus menaklukkan para kompetitor dengan cara yang manis agar usahanya dapat berkembang. la menyusun strategi baru dengan meminjam barang antik ibunya. Kursi tamu antik ia letakkan di toko, agar tamu merasa betah. Tak hanya itu, ia juga menjamu tamu-tamunya dengan berbagai camilan khas Palembang. Tampaknya strategi itu berhasil. Karena merasa betah di sana, para tamu jadi ingin berlama-lama di Rumah Tenun, dan akhirnya tergoda membeli lebih banyak.
 

Inovasi lulusan Magister Kenotariatan Universitas Sriwijaya ini pun dimulai. Nyimas memadukan songket dengan kain batik jumputan. Ternyata, kombinasi itu disukai konsumen. Perlahan-lahan Nyimas mulai bisa membaca selera pasar. "sejak itu saya termotivasi untuk terus melakukan modifikasi, agar konsumen tidak melihat yang itu-itu saja. Saya pun membuat perpaduan kain yang tidak mudah ditemukan di toko lain," kata Pemenang I Bidang Kreatif Wirausaha Mandiri ini dengan bangga. Tak berhenti melakukan inovasi, Nyimas juga memadukan motif batik Palembang dengan batik Madura, batik Pekalongan, dan batik Jepara. Hasilnya, kain hasil karyanya makin diminati.

Bangun kepercayaan—itulah yang membuat klien datang kembali. la tak ragu melayani konsumen yang kecewa dengan produknya dan mengganti rugi kekecewaan itu dengan produk dan servis yang istirnewa, Tak heran konsumen yang kecewa tersebut justru menjadi loyal.


Kain yang ia gunakan pun sebagian besar adalah kain sutra, sehingga kualitasnya sudah ticiak perlu dipertanyakan lagi. Bentuknya bukan hanya lembaran kain, melainkan ada yang sudah dalam bentuk baju siap pakai dengan selera lebih muda, la ingin agar kain-kain ini juga digunakan oleh orang muda, termasuk anak-anak. Sebab, sejak awal terjun di bisnis ini Nyimas memang berniat melestarikan wastra nusantara tersebut.
 

Meski bisnisnya terkesan bebas hambatan, bukan berarti Nyimas tak pernah merugi. Suatu ketika, seorang konsumen memesan songket yang motifnya cukup butuh pengerjaan hingga 5 bulan. Padahal, waktu yang diberikan konsumen hanya 4 bulan. Berhali-hali dengan langkahnya, Nyimas kemudian berunding dengan perajin sebelum menyanggupi permintaan tersebut.
 

Satu ciri khas pengerjaan songket adalah tidak dapat berpindah tangan. Siapa nyana perajin yang telah ditunjuk terkena musibah dan songket yang sudah hampir jadi itu terpaksa berpindah tangan ke perajin lagi. Pada waktu yang dijanjikan, songket itu belum selesai. Karena konsumen marah-marah, Nyimas memberi pilihan pada konsumen tersebut agar memilih kain mana saja yang sudah ada di tokonya. Nyimas terpaksa menelan kerugian, karena songket yang dipilih sebagai gantinya lebih mahal daripada yang dipesan. "Ini menjadi pelajaran berharga buat saya. Sejak itu saya tidak main-main lagi dalam menerima pesanan," kata Nyimas, yang menyebut bahwa konsumen itu kemudian justru menjadi konsumen tetapnya.

Memulai bisnis dari kecintaan. Nyimas sangat menyukai kain-kain tradisional dan punya keinginan kuat untuk melestarikannya. Sehingga, passion berbisnis pun semakin kuat.

Mengikuti pekembangan teknologi, Nyimas tak hanya berpromosi dengan cara tradisional, melainkan juga melalui internet. Media yang dipilihnya adalah situs jejaring sosial, Facebook. Dori sanalah konsumennya berkembang luas ke beberapa negara. Bahkan, konsumen di Singapura rutin melakukan pemesanan. Karena nilai rupiahnya cukup tinggi dan tak ingin mengalami penipuan, Nyimas menerapkan sistem pembayaran terlebih dulu, barulah produknya 'dikirim. Hingga saat ini, setiap tahunnya Nyimas berhasil mendapatkan laba hingga Rp200 juta, dengan 9 karyawan tetap dan puluhan kelompok perajin yang sewaktu-waktu siap membuat songket.
 
Dari Buku: Wirausaha Muda Mandiri Part 2: Kisah Inspiratif Anak-anak Muda Menemukan Masa Depan dari Hal-hal yang Diabaikan Banyak Orang. Oleh: Rhenald Kasali Penerbit: Gramedia (http://goo.gl/fkLeBa)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More